Translate

Sabtu, 19 November 2011

Sumber Penderitaan


Sumber Penderitaan

Hidup adalah penderitaan, menjadi tua adalah penderitaan, sakit adalah penderitaan, perpisahan dari yang dicintai ialah penderitaan, tidak mendapatkan yang diinginkan ialah penderitaan. Bukankah penderitaan itu disebabkan karena adanya unsur kemelekatan.
Penderitaan bukanlah diri Anda, itu hanyalah sensasi yang diterima oleh Anda. Saat Anda bisa memisahkan antara diri Anda dengan penderitaan itu, saat itulah Anda sudah melepaskan kemelekatan keakuan (ego). Saat itulah berakhirnya penderitaan. Jadi sumber penderitaan itu berasal dari diri Anda sendiri yang menggap bahwa “ Anda menderita”..Saat Anda terus melekatkan diri anda dengan penderitaan itu, semakin Anda akan merasa bahwa Anda adalah orang yang paling menderita.
Perasaan bukanlah penderitaan. Penderitaan ialah menggenggam nafsu-keinginan. Nafsu keinginan tidak menyebabkan penderitaan; penyebab penderitaan adalah menggenggam nafsu-keinginan. Pernyataan ini untuk refleksi dan renungan dalam pengalaman pribadi anda. Anda tak mungkin memiliki penderitaan yang absolut dan kemudian ada jalan-keluarnya bukan?
Coba sekarang pandang dan rasakan rasa sakit dan kesedihan yang Anda rasakan, bukan dari sudut pandang ‘milik saya’ melainkan sebagai suatu refleksi: ’Ini ada penderitaan.’ Pengetahuan ini hanyalah sesederhana pengakuan adanya penderitaan tanpa menjadikannya sebagai sesuatu yang pribadi (personal). Pengakuan ini adalah pengetahuan yang penting, yakni: hanya memandang kesedihan mental atau penderitaan fisik dan melihatnya sebagai penderitaan daripada kesengsaraan pribadi – sekedar melihatnya sebagai penderitaan begitu saja, bukan malah bereaksi terhadapnya.
Kebenaran ini diungkapkan dengan sangat jelas: “Ada penderitaan”, bukannya, ‘Saya menderita.’ Secara psikologis, refleksi ini merupakan cara yang lebih baik untuk mengungkapkannya. Kita cenderung untuk mengartikan penderitaan kita sebagai ‘Saya benar-benar menderita. Saya sangat menderita — dan saya tidak ingin menderita.’ — Ya beginilah cara berpikir kita terkondisi.
‘Saya menderita’ selalu membawa makna bahwa ‘Saya adalah orang yang sangat menderita. Penderitaan ini adalah milik saya; saya memiliki banyak penderitaan dalam hidup saya.’ Kemudian seluruh proses kait-mengkait antara diri sendiri dengan ingatan berlangsung.
Perhatikanlah bahwa sekarang kita tidak lagi mengatakan ada orang yang menderita. Maka penderitaan bukan lagi suatu penderitaan personal (pribadi) ketika kita memandangnya sebagai ‘Ini ada penderitaan.’ Untuk lepas dari penderitaan kita harus mengakuinya dalam kesadaran.
Anda tidak akan pernah bisa dapat mengetahui perbedaan antara “ saya menderita”, dengan “ ini ada penderitaan”, tanpa Anda mempraktekkannya dan merasakannya langsung!”
‘Ini ada penderitaan’ merupakan pengetahuan-kebijaksanaan yang pertama. Pengetahuan apakah itu? Kita tidak perlu membuatnya menjadi sesuatu yang luar biasa, ini adalah sekedar mengenali: ‘Ada penderitaan.’ Inilah pengetahuan kebijaksanaan yang mendasar.
Tahap berikutnya adalah “ Penderitaan itu harus dimengerti.” Anda harus memahami penderitaan [terlebih dahulu], tidak hanya berusaha untuk menghilangkannya. Terhadap penderitaan baik fisik maupun mental biasanya kita hanya bereaksi, namun dengan pemahaman kita bisa benar-benar memandang penderitaan; sungguh-sungguh menerimanya, sungguh-sungguh memegangnya serta merangkulnya.
Ketika Anda benar-benar melihat sumber penderitaan, Anda akan merealisasi bahwa permasalahannya adalah penggenggaman (grasping) nafsu-keinginan bukan nafsu-keinginan itu sendiri. Menggenggam artinya dibohongi oleh nafsu-keinginan, berpikir bahwa inilah ‘aku’ dan ‘milikku’: ‘Nafsu-keinginan ini adalah saya dan ada sesuatu yang salah dalam diri saya karena memilikinya’;
atau, ‘Saya tidak suka diri saya yang sekarang. Saya harus menjadi sesuatu yang lain’; atau, ‘Saya harus menyingkirkan sesuatu dulu sebelum saya bisa menjadi apa yang saya inginkan.’ Semua ini adalah nafsu-keinginan. Jadi pandanglah semua hal apa adanya.
Ketika kita mengkontemplasikan dan dengan cermat mendengarkan nafsu-keinginan, maka kita tidak lagi melekat padanya; kita hanya membiarkan mereka sebagaimana adanya. Kemudian kita sampai pada realisasi bahwa sumber penderitaan, nafsu-keinginan, dapat dikesampingkan dan dibiarkan berlalu,
Bagaimana anda membiarkannya berlalu? Caranya dengan membiarkannya sebagaimana adanya; ini bukan berarti Anda memusnahkan atau membuangnya, melainkan lebih pada meletakkan dan membiarkannya sendiri. Melalui latihan melepas, kita menyadari keberadaan sumber penderitaan, yaitu kemelekatan pada nafsukeinginan, dan kita sadar bahwa kita harus melepas nafsu-keinginan ini. Kemudian kita menyadari bahwa kita telah melepas nafsu-keinginan ini, dan tiada lagi kemelekatan padanya.
Ketika anda menyadari diri anda sedang melekat pada sesuatu, ingatlah bahwa ‘melepas’ tidak sama dengan ‘menyingkirkan’ atau ‘membuang’. Bila saya sedang memegang sebuah jam dan Anda berkata, ‘Lepaskan jam itu!’, perkataan anda bukan berarti ‘buang’. Boleh jadi saya berpikir bahwa saya harus membuangnya karena saya melekat padanya, tetapi ini pun hanyalah nafsu-keinginan untuk menyingkirkan. Kita cenderung berpikir bahwa menyingkirkan objek merupakan cara untuk menyingkirkan kemelekatan. Tetapi bila saya dapat merenungkan kemelekatan, penggenggaman jam ini, saya menyadari bahwa tiada artinya berusaha menyingkirkannya — jam ini bagus; tepat waktu dan tidak berat untuk dibawa-bawa. Jam ini bukanlah masalahnya
Jadi apa yang saya lakukan? Lepaskan, kesampingkan, letakkan dengan lembut tanpa ada kebencian. Kemudian saya boleh mengambilnya lagi, melihat pukul berapa saat itu serta kembali meletakkannya bila perlu.
Bagaimana cara mengesampingkan nafsu-keinginan ini tanpa menimbulkan kebencian? Sangat sederhana: sekedar kenalilah saja tanpa menilai atau mengadilinya. Anda dapat mengkontemplasikan keinginan untuk menyingkirkannya karena Anda merasa bersalah memiliki nafsu yang bodoh ini tetapi kesampingkan saja. Anda tidak lagi melekat padanya ketika anda melihatnya sebagaimana adanya, mengenalinya hanya sebagai nafsu-keinginan.
Jadi caranya adalah dengan selalu berlatih setiap waktu dalam kehidupan sehari-hari.
Bilamana anda sedang merasa tertekan dan negatif, begitu di saat anda menolak larut tenggelam dalamnya, inilah pengalaman yang mencerahkan. Ketika anda melihat-nya, anda tak perlu tenggelam dalam lautan depresi dan keputusasaan. Anda sebenarnya bahkan dapat stop dengan belajar untuk tidak menimbang-ulang tentangnya sedikitpun.
Anda harus memahaminya sendiri melalui latihan sehingga anda dapat mengetahui sendiri bagaimana cara melepas sumber penderitaan. Dapatkah anda melepas nafsu-keinginan dengan ingin melepaskannya? Apakah yang sebenarnya melepas pada saat itu? Anda harus merenungkan pengalaman melepas dan benar benar meneliti dan menyelidiki sampai pengetahuan kebijaksanaan timbul. Teruskan sampai insight itu timbul: ‘Ah, melepas, ya, sekarang saya mengerti. Nafsu-keinginan telah dilepas.’ Bukan berarti bahwa dengan ini anda bisa melepas nafsu-keinginan selamanya, tetapi pada saat itu, anda benar-benar telah melepas dan anda telah melakukannya dengan kesadaran perhatian penuh.
Bila Anda berusaha untuk menganalisa pelepasan secara mendetail, anda dapat terjebak dengan membuatnya menjadi sangat rumit. Pelepasan bukanlah sesuatu yang dapat Anda pikirkan dalam kata-kata, melainkan sesuatu yang Anda lakukan. Demikian pula caranya untuk melepas dengan masalah dan obsesi pribadi.
Caranya bukanlah dengan menganalisa dan menambah permasalahan dari yang sudah ada, tetapi melatih keadaan meninggalkannya sendirian, melepasnya. Pada mulanya, Anda melepas tetapi kemudian mengambilnya kembali karena kebiasaan memegang yang kuat. Tetapi paling tidak anda menangkap maksudnya.
Adalah penting untuk mengetahui bahwa anda telah melepas nafsu-keinginan: ketika anda tak lagi menilai atau berkeras buat menyingkirkannya; kala anda mengenali bahwa ya demikianlah adanya . Ketika anda benar-benar tenang dan damai, maka anda akan menemukan bahwa tiada kemelekatan pada apapun.
Anda tidak terperangkap, berusaha untuk memperoleh atau menyingkirkan sesuatu. Kewarasan itu hanyalah sekedar mengetahui sesuatu sebagaimana adanya tanpa merasa perlu untuk mengadili atau membuat penilaian ini-itu tentangnya. Kita selalu mengatakan, ‘Ini mestinya tidak begini!’, ‘Saya tidak seharusnya berlaku begini!’ dan, ‘Anda seharusnya tidak begini atau begitu!’, dan seterusnya.
Kita merefleksi tatkala kita melihat penderitaan, sifat nafsu-keinginan dan ketika kita mengenali bahwa kemelekatan pada nafsu-keinginan adalah penderitaan. Maka kita memiliki pengetahuan-kebijaksanaan (insight) untuk membiarkan sang nafsu berlalu serta merealisasi ketidak-menderitaan, dan saat itu berakhirnya penderitaan.
Pengetahuan ini hanya dapat timbul melalui refleksi, bukan melalui sekedar percaya. Anda tidak dapat membuat diri anda yakin atau merealisasi kebijaksanaan dengan sengaja. Dengan benar-benar merenung dan memikirkan
kebenaran inilah maka pengetahuan timbul dalam diri Anda. Kebijaksanaan ini timbul hanya melalui pikiran yang terbuka dan siap menerima ilmu ini.
Pikiran harus siap menerima, meneliti dan mempertimbangkan. Keadaan mental ini sangat penting. Inilah jalan keluar dari penderitaan. Ini bukanlah pikiran yang berpandangan kaku dan penuh prasangka serta merasa mengetahui segalanya Ini adalah pikiran yang terbuka yang dapat berefleksi terhadap sesuatu yang bisa kita lihat dalam pikiran kita.
Orang jarang merealisasi ketidak-menderitaan karena dibutuhkan tekad istimewa buat merenung, menyelidiki dan melampaui yang kasar dan yang seakan sudah jelas. Dibutuhkan kemauan untuk
Benar-benar melihat reaksi-reaksi anda sendiri, untuk mampu melihat kemelekatan serta merenung: ‘Seperti apakah rasanya kemelekatan?’
“Sebelum Anda dapat melepas sesuatu, anda harus mengakuinya dengan Kesadaran penuh”.
Sangat penting untuk membedakan antara “berakhirnya” dengan “pemusnahan”, yakni nafsu untuk menyingkirkan sesuatu.Berakhirnya adalah akhir alami dari segala kondisi apapun yang muncul. Jadi ini bukan nafsu-keinginan! Berakhirnya bukanlah sesuatu yang kita ciptakan dalam pikiran melainkan akhir dari sebuah awal,
Oleh karena itu berakhirnya bukan diri. Ini tidak datang dari perasaan ‘Saya harus menyingkirkan sesuatu,’ tetapi adalah tatkala kita membiarkan apa yang muncul untuk lenyap. Untuk melakukannya maka kemelekatan harus ditinggalkan – dibiarkan berlalu. Meninggalkan bukan berarti menolak atau membuangnya melainkan sekedar melepas membiarkannya berlalu. Kemudian ketika kemelekatan atau kecanduan lenyap, anda mengalami kekosongan, ketidak-melekatan. Ketika Anda telah melepas sesuatu dan membiarkannya lenyap, maka yang tersisa adalah kedamaian.
Dalam kekosongan (emptiness), semua adalah sekedar sebagaimana adanya. Ketika kita sadar dengan cara ini, bukan berarti kita menjadi acuh tak acuh pada kesuksesan atau kegagalan dan tak melakukan apapun. Kita dapat menerapkankan diri kita sendiri. Kita tahu apa yang dapat kita lakukan; kita tahu apa yang harus dilakukan dan kita bisa melakukannya dengan cara yang baik. Kemudian semuanya menjadi apa adanya. Kita melakukan sesuatu karena itu adalah sesuatu yang tepat untuk dilakukan pada saat ini dan di sini bukan karena ambisi pribadi atau takut akan kegagalan tetapi karena suatu kesadaran.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar