Translate

Sabtu, 19 November 2011

Kasus-Kasus Keadilan

KASUS MUNIR & KISAH GELAP DI MISSISSIPPI
 “Aku pernah begitu benci kepadanya, dan bahkan pernah menyuruh orang untuk membunuhnya. Tetapi, aku teringat ucapan suamiku, Medgar: ‘jika kau membenci seseorang maka yang menderita adalah dirimu sendiri, sebab orang yang kau benci kebanyakan tidak tahu dan sebagian besar lainnya tidak peduli’.” (Mirly Evers tentang Byron De La Beckwith dalam film Ghost of Mississippi).
Film itu mengangkat kisah nyata tentang penantian dan perjuangan panjang menggapai keadilan. Peristiwanya terjadi di Negara Bagian Mississippi, Amerika Serikat. Mirly Evers adalah protagonis dibalik perjuangan itu, janda yang tak kenal lelah mencari keadilan atas kematian suaminya, Medgar Evers, seorang tokoh pejuang persamaan hak kaum kulit hitam. Pada 1963, Medgar ditembak secara keji dan pengecut di halaman rumah tempat ia tinggal bersama isteri dan ketiga anaknya.
Bukti perkara mengarah Byron De La Beckwith, anggota Ksatria Putih Klu Klux Klan (KKK) sebagai tersangka pelaku pembunuhan. Namun, suasana sosial politik yang masih kental dengan praktik rasialisme, dua kali proses sidang yang penuh rekayasa (termasuk hilangnya bukti berupa senjata alat pembunuhan), anggota Juri yang semuanya berkulit putih tak pernah bulat memutuskan dakwaan bagi De La Beckwith. Ironis bagi keadilan dan berkah bagi De La Beckwith, Hakim Pengadilan ‘terpaksa” membebaskan tersangka dari segala tuduhan dengan dalih “kesalahan pengadilan”.
Keadilan bagi Myrli dan keluarganya baru datang tiga puluh tahun kemudian, tepatnya pada 1994. Robert Delaughter, Asisten Jaksa Penuntut di Kota Hinds, Mississippi, yang juga menantu hakim ketua pada sidang yang membebaskan tersangka adalah sosok penting yang kemudian berhasil menyeret kembali De La Beckwith ke sidang pengadilan. Saat upaya itu sedang dilakukan berbagai ancaman dan teror dari para simpatisan De La Beckwith diterimanya setiap waktu. Sang tersangka yang saat itu berumur 70 tahun dan telah tinggal di Tennessee dengan pongah tetap percaya bahwa proses sidang akan terrulang dan membebaskan dirinya. Namun tampilnya sejumlah saksi baru serta susunan Juri yang kali ini terdiri dari kulit hitam dan kulit putih, membuat De La Beckwith akhirnya divonis bersalah dan dijatuhi hukuman seumur hidup. “Inilah kilometer terakhir dalam perjuangan saya bagi Medgar”, demikian ucap Myrli menanggapi putusan pengadilan itu.
***
Pepatah bilang “sejarah selalu berulang”. Begitulah, jika kita menyandingkan kisah di Mississippi sana dengan tragedi pembunuhan aktivis HAM Indonesia, Munir. Seperti Medgar, Munir juga dibunuh secara keji dan pengecut yang kelewat batas. September 2004 lalu, ketika berada dalam pesawat Garuda menuju Belanda, tubuh kecil Munir tak kuasa menahan derita akibat racun Arsenik yang tiba-tiba mengendap di tubuhnya. Ya, Munir meninggal diracun. Seketika, kita kehilangan sosok panutan dalam perjuangan menegakkan demokrasi dan HAM.
Adalah Suciwati, sosok yang selama almarhum masih hidup lebih memilih peran sebagai seorang ibu yang baik dan suppoter sejati perjuangan suaminya, pelan tapi pasti tampil berani di garda terdepan untuk menyeret para pelaku pembunuhan suaminya. Hikmah dari kebaikan yang ditebar almarhum selama hidup, membuat Suciwati tidak sendirian dalam perjuangan itu. Simpati dan dukungan datang dari berbagai kalangan. Tidak saja dari kolega almarhum yang tergabung di KONTRAS, PBHI, Imparsial, SETARA, KASUM serta TPF Kasus Munir, dukungan juga datang dari masyarakat Indonesia serta sejumlah pemerintahan dan lembaga internasional.
Tapi, apa yang terjadi? Setelah empat tahun menanti, keadilan yang dicari justru menemui ”ajal”-nya di tangan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, 31 Desember 2008 lalu. Hakim memvonis bebas Muchdi Pr. Mantan petinggi Badan Intelejen Negara yang didakwa sebagai otak pembunuhan Munir. Sungguh, putusan itu jadi kado tahun baru teramat manis bagi dirinya, tapi sebaliknya merupakan kado pahit bagi keadilan di Indonesia. Menengok kembali ke kasus di Mississippi, De La Beckwith bebas karena adanya ”kesalahan pengadilan”. Pada kasus kasus Munir, kita pun sulit menghindar untuk sampai pada penilaian serupa bahwa telah terjadi ”kesalahan” dalam proses persidangan maupun putusannya.
Kesalahan, atau katakanlah sejumlah kejanggalan, berlangsung selama proses persidangan. Sejumlah saksi yang potensial memberatkan dakwaan secara serentak mencabut kesaksiannya yang ada di Berita Acara Pemeriksaan. Seorang saksi kunci dari sebuah lembaga telik sandi malah sama tak pernah bisa di-hadir-kan dengan alasan tugas resmi di luar negeri. Padahal ia adalah salah satu kunci yang menghubungkan tersangka dengan terdakwa pelaku lainnya. Para hakim yang terhormat itu juga tidak pernah merasa dan berpikir berpikir perlu untuk memperdalam atau bahkan memperdengarkan rekaman pembicaraan telepon yang puluhan kali antara terdakwa dengan seorang terdakwa lain, Pollycarpus, seperti pada sidang kasus-kasus korupsi di pengadilan Tipikor. Lebih penting lagi, hakim malah segera mengambil keputusan yang potensial mendorong kasus ini ke jalan buntu. Intinya logical framework pada sidang pengadilan itu nyaris tak terpenuhi.
Di sini kita tak hendak membenci hakim pengadilan, terdakwa, atau siapapun yang terlibat dalam skenario pembunuhan itu. Sebab mereka, seperti kata Myrli Evers di atas, ”mungkin tak akan pernah akan tahu atau peduli”. Kita hanya kecewa. Putusan itu melah membuat luka kian menganga. Silakan saja hakim berdalih bahwa putusan diambil berdasar fakta dan keterangan yang terpapar pada sidang. Tapi bagaimana penjelasan atas sejumlah kejanggalan yang terjadi? Proses hukum yang janggal niscaya melahirkan putusan janggal, dan bahkan salah kaprah. Apapun, kita hanya percaya satu hal mendasar bahwa common sense publik atas keadilan tidak akan pernah mati meski ada putusan seperti itu.
Proses hukum memang acap berbanding terbalik dengan rasa keadilan publik. Kita hanya berharap bahwa keadilan dalam kasus ini tak harus menunggu puluhan tahun seperti di Mississipi. Bukan karena kita meragukan kesabaran Suciwati dan keluarganya untuk menunggu lama seperti Myrli. Melainkan keyakinan bahwa pengungkapan kebenaran dibalik kasus ini memang TIDAK HARUS menunggu selama itu. Hanya perlu kemauan (will) yang sungguh-sungguh dan proses hukum yang benar untuk menuntaskannya. Keadilan yang kelak datang, tentu akan sangat bermakna bagi keluarga besar Munir, juga bagi kita semua. Semoga! Teriring doa semoga Munir damai ”di sana”.***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar