KASUS MUNIR
& KISAH GELAP DI MISSISSIPPI
“Aku pernah begitu benci kepadanya, dan bahkan
pernah menyuruh orang untuk membunuhnya. Tetapi, aku teringat ucapan suamiku,
Medgar: ‘jika kau membenci seseorang maka yang menderita adalah dirimu sendiri,
sebab orang yang kau benci kebanyakan tidak tahu dan sebagian besar lainnya
tidak peduli’.” (Mirly Evers tentang Byron De La Beckwith dalam film Ghost of
Mississippi).
Film
itu mengangkat kisah nyata tentang penantian dan perjuangan panjang menggapai
keadilan. Peristiwanya terjadi di Negara Bagian Mississippi, Amerika Serikat.
Mirly Evers adalah protagonis dibalik perjuangan itu, janda yang tak kenal
lelah mencari keadilan atas kematian suaminya, Medgar Evers, seorang tokoh
pejuang persamaan hak kaum kulit hitam. Pada 1963, Medgar ditembak secara keji
dan pengecut di halaman rumah tempat ia tinggal bersama isteri dan ketiga
anaknya.
Bukti
perkara mengarah Byron De La Beckwith, anggota Ksatria Putih Klu Klux Klan
(KKK) sebagai tersangka pelaku pembunuhan. Namun, suasana sosial politik yang
masih kental dengan praktik rasialisme, dua kali proses sidang yang penuh
rekayasa (termasuk hilangnya bukti berupa senjata alat pembunuhan), anggota
Juri yang semuanya berkulit putih tak pernah bulat memutuskan dakwaan bagi De
La Beckwith. Ironis bagi keadilan dan berkah bagi De La Beckwith, Hakim
Pengadilan ‘terpaksa” membebaskan tersangka dari segala tuduhan dengan dalih
“kesalahan pengadilan”.
Keadilan
bagi Myrli dan keluarganya baru datang tiga puluh tahun kemudian, tepatnya pada
1994. Robert Delaughter, Asisten Jaksa Penuntut di Kota Hinds, Mississippi,
yang juga menantu hakim ketua pada sidang yang membebaskan tersangka adalah
sosok penting yang kemudian berhasil menyeret kembali De La Beckwith ke sidang
pengadilan. Saat upaya itu sedang dilakukan berbagai ancaman dan teror dari
para simpatisan De La Beckwith diterimanya setiap waktu. Sang tersangka yang
saat itu berumur 70 tahun dan telah tinggal di Tennessee dengan pongah tetap
percaya bahwa proses sidang akan terrulang dan membebaskan dirinya. Namun
tampilnya sejumlah saksi baru serta susunan Juri yang kali ini terdiri dari
kulit hitam dan kulit putih, membuat De La Beckwith akhirnya divonis bersalah
dan dijatuhi hukuman seumur hidup. “Inilah kilometer terakhir dalam perjuangan
saya bagi Medgar”, demikian ucap Myrli menanggapi putusan pengadilan itu.
***
Pepatah bilang “sejarah selalu berulang”. Begitulah, jika kita menyandingkan kisah di Mississippi sana dengan tragedi pembunuhan aktivis HAM Indonesia, Munir. Seperti Medgar, Munir juga dibunuh secara keji dan pengecut yang kelewat batas. September 2004 lalu, ketika berada dalam pesawat Garuda menuju Belanda, tubuh kecil Munir tak kuasa menahan derita akibat racun Arsenik yang tiba-tiba mengendap di tubuhnya. Ya, Munir meninggal diracun. Seketika, kita kehilangan sosok panutan dalam perjuangan menegakkan demokrasi dan HAM.
***
Pepatah bilang “sejarah selalu berulang”. Begitulah, jika kita menyandingkan kisah di Mississippi sana dengan tragedi pembunuhan aktivis HAM Indonesia, Munir. Seperti Medgar, Munir juga dibunuh secara keji dan pengecut yang kelewat batas. September 2004 lalu, ketika berada dalam pesawat Garuda menuju Belanda, tubuh kecil Munir tak kuasa menahan derita akibat racun Arsenik yang tiba-tiba mengendap di tubuhnya. Ya, Munir meninggal diracun. Seketika, kita kehilangan sosok panutan dalam perjuangan menegakkan demokrasi dan HAM.
Adalah
Suciwati, sosok yang selama almarhum masih hidup lebih memilih peran sebagai
seorang ibu yang baik dan suppoter sejati perjuangan suaminya, pelan tapi pasti
tampil berani di garda terdepan untuk menyeret para pelaku pembunuhan suaminya.
Hikmah dari kebaikan yang ditebar almarhum selama hidup, membuat Suciwati tidak
sendirian dalam perjuangan itu. Simpati dan dukungan datang dari berbagai
kalangan. Tidak saja dari kolega almarhum yang tergabung di KONTRAS, PBHI,
Imparsial, SETARA, KASUM serta TPF Kasus Munir, dukungan juga datang dari
masyarakat Indonesia serta sejumlah pemerintahan dan lembaga internasional.
Tapi,
apa yang terjadi? Setelah empat tahun menanti, keadilan yang dicari justru
menemui ”ajal”-nya di tangan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, 31
Desember 2008 lalu. Hakim memvonis bebas Muchdi Pr. Mantan petinggi Badan
Intelejen Negara yang didakwa sebagai otak pembunuhan Munir. Sungguh, putusan
itu jadi kado tahun baru teramat manis bagi dirinya, tapi sebaliknya merupakan
kado pahit bagi keadilan di Indonesia. Menengok kembali ke kasus di
Mississippi, De La Beckwith bebas karena adanya ”kesalahan pengadilan”. Pada
kasus kasus Munir, kita pun sulit menghindar untuk sampai pada penilaian serupa
bahwa telah terjadi ”kesalahan” dalam proses persidangan maupun putusannya.
Kesalahan,
atau katakanlah sejumlah kejanggalan, berlangsung selama proses persidangan.
Sejumlah saksi yang potensial memberatkan dakwaan secara serentak mencabut
kesaksiannya yang ada di Berita Acara Pemeriksaan. Seorang saksi kunci dari
sebuah lembaga telik sandi malah sama tak pernah bisa di-hadir-kan dengan alasan
tugas resmi di luar negeri. Padahal ia adalah salah satu kunci yang
menghubungkan tersangka dengan terdakwa pelaku lainnya. Para hakim yang
terhormat itu juga tidak pernah merasa dan berpikir berpikir perlu untuk
memperdalam atau bahkan memperdengarkan rekaman pembicaraan telepon yang
puluhan kali antara terdakwa dengan seorang terdakwa lain, Pollycarpus, seperti
pada sidang kasus-kasus korupsi di pengadilan Tipikor. Lebih penting lagi,
hakim malah segera mengambil keputusan yang potensial mendorong kasus ini ke
jalan buntu. Intinya logical framework pada sidang pengadilan itu nyaris tak
terpenuhi.
Di
sini kita tak hendak membenci hakim pengadilan, terdakwa, atau siapapun yang
terlibat dalam skenario pembunuhan itu. Sebab mereka, seperti kata Myrli Evers
di atas, ”mungkin tak akan pernah akan tahu atau peduli”. Kita hanya kecewa.
Putusan itu melah membuat luka kian menganga. Silakan saja hakim berdalih bahwa
putusan diambil berdasar fakta dan keterangan yang terpapar pada sidang. Tapi
bagaimana penjelasan atas sejumlah kejanggalan yang terjadi? Proses hukum yang
janggal niscaya melahirkan putusan janggal, dan bahkan salah kaprah. Apapun,
kita hanya percaya satu hal mendasar bahwa common sense publik atas keadilan
tidak akan pernah mati meski ada putusan seperti itu.
Proses
hukum memang acap berbanding terbalik dengan rasa keadilan publik. Kita hanya
berharap bahwa keadilan dalam kasus ini tak harus menunggu puluhan tahun
seperti di Mississipi. Bukan karena kita meragukan kesabaran Suciwati dan
keluarganya untuk menunggu lama seperti Myrli. Melainkan keyakinan bahwa
pengungkapan kebenaran dibalik kasus ini memang TIDAK HARUS menunggu selama
itu. Hanya perlu kemauan (will) yang sungguh-sungguh dan proses hukum yang
benar untuk menuntaskannya. Keadilan yang kelak datang, tentu akan sangat
bermakna bagi keluarga besar Munir, juga bagi kita semua. Semoga! Teriring doa
semoga Munir damai ”di sana”.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar