Translate

Minggu, 08 Januari 2012

Hasil Budaya yang Berkaitan Manusia Dengan Kegelisahan

Kegelisahan didalam kedinginan
Meniti sepi keseorangan
Sebuah kematian yang tiada bernisan
Sendu mengiringi perpisahan
Ruang nan luas diri bergerak bebas
Namun keupayaanku terbatas
Segala mimpi menjadi asing
Perit membakar diri
Sebuah cinta dan harapan
Menjadi mimpi berterbangan
Tersekat nafasku kabur pandangan mataku
Amat tersiksa diriku
Kerana kehilanganmu
Oh mengapakah terus mengharap menanti
Walau cukup kusedari
Kau tak kan kembali
Pemergianmu mengisi kekosongan
Biarpun dikau masih kuperlukan
Kita dikatakan pasangan bahagia
Kini terasing luka


Sumber    :   

Hasil Budaya berkaitan dengan Manusia Dan Tanggung Jawab

Bermacam-macam hasil budaya dari sebuah tanggung jawab. Berikut hasil budaya orang tua untuk mendidik anak sejak usia dini agar menjadi anak yang bertanggung jawab:



1. Memberi teladan yang baik.

Dalam mengajarkan tanggung jawab kepada anak, akan lebih berhasil dengan memberikan suatu teladan yang baik. Cara ini mengajarkan kepada anak bukan saja apa yang harus dilakukan dan bagaimana cara melakukannya, akan tetapi juga bagaimana orangtua melakukan tugas semacam itu.


2. Tetap dalam pendirian dan teguh dalam prinsip.

Dalam hal melakukan pekerjaan, orangtua harus melihat apakah anak melakukannya dengan segenap hati dan tekun. Sangat penting bagi orangtua untuk memberikan suatu perhatian pada tugas yang tengah dilakukan oleh si anak. Janganlah sekali-kali kita menunjukkan secara langsung tentang kesalahan-kesalahan anak, tetapi nyatakanlah bagaimana cara memperbaiki kesalahan tersebut. Dengan demikian orantua tetap dalam pendirian, dan teguh dalam prinsip untuk menanamkan rasa tanggung jawab kepada anaknya.


3. Memberi anjuran atau perintah hendaknya jelas dan terperinci.

Orangtua dalam memberi perintah ataupun anjuran, hendaklah diucapkan atau disampaikan dengan cukup jelas dan terperinci agar anak mengerti dalam melakukan tugas yang dibebankan kepadanya.


4. Memberi ganjaran atas kesalahan.

Orangtua hendaknya tetap memberi perhatian kepada setiap pekerjaan anak yang telah dilakukannya sesuai dengan kemampuannya. Tidak patut mencela pekerjaan anak yang tidak diselesaikannya. Kalau ternyata anak belum dapat menyelesaikan pekerjaannya saat itu, anjurkanlah untuk dapat melakukan atau melanjutkannya besok hari. Dengan memberikan suatu pujian atau penghargaan, akan membuat anak tetap berkeinginan menyelesaikan pekerjaan itu. Seringkali orangtua senang menjatuhkan suatu hukuman kepada anak yang tidak berhasil menyelesaikan tugasnya. Andaikan memungkinkan lebih baik memberikan ganjaran atas kesalahan dan tidak semata-mata mempermasalahkannya.

5. Jangan terlalu banyak menuntut.

Orangtua selayaknya tidak patut terlalu banyak menuntut dari anak, sehingga dengan sewenang-wenang memberi tanggung jawab yang tidak sesuai dengan kemampuannya. Berikanlah tanggung jawab itu setahap demi setahap, agar si anak dapat menyanggupi dan menyenangi pekerjaan itu.

Suatu kebiasaan yang keliru pada orang tua dalam hal mendidik anak, adalah bahwa mereka seringkali sangat memperhatikan dan mengikuti emosinya sendiri. Tetapi sebaliknya emosi anak-anak justru kurang diperhatikan. Orangtua boleh saja marah kepada anak, akan tetapi jagalah supaya kemarahan yang dinyatakan dalam tindakan seperti omelan dan hukuman itu benar-benar tepat untuk perkembangan jiwa anak. Dengan perkataan lain, marahlah pada saat si anak memang perlu dimarahi.

Anak-anak yang sudah mampu berespon secara tepat, adalah anak yang sudah mampu berfikir dalam mendahulukan kepentingan pribadi. Dan anak seperti ini sudah tinggal selangkah lagi kepada pemilikan rasa tanggung jawab.

Pada hakekatnya tanggung jawab itu tergantung kepada kemampuan, janganlah lantas kita mengatakan bahwa anak yang berusia tujuh tahun itu tidak mempunyai tanggung jawab, karena tidak menjaga adiknya secara baik, sehingga si adik terjatuh dari atas tembok. Sesungguhnya anak yang baru berusia tujuh tahun tidak akan mampu melakukan hal seperti itu. Jelaslah bahwa beban tanggung jawab yang diserahkan pada seorang anak haruslah disesuaikan dengan tingkat kematangan anak. Untuk itu dengan sendirinya orangtua merasa perlu untuk lebih jauh mengenal tentang kemampuan anaknya.

Dalam memberikan anak suatu informasi tentang hal yang harus dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan adalah sangat penting. Tanpa pengetahuan ini anak tidak bisa disalahkan bila ia tidak mau melakukan apa yang seharusnya ia lakukan. Namun untuk sekedar memberitahu secara lisan, seringkali tidak cukup. Orangtua juga harus bisa menjelaskan dengan contoh bagaimana caranya melakukan hal tersebut, disamping harus dijelaskan alasan-alasan mengapa hal itu harus dilakukan, atau tidak boleh dilakukan.
Biasanya kita cenderung untuk melihat rasa tanggung jawab dari segi- segi yang konkrit, seperti: apakah tingkah lakunya sopan atau tidak; kamar anak bersih atau tidak; apakah si anak sering terlambat datang ke sekolah atau tidak; dan sebagainya.

Seorang anak bisa saja berlaku sopan, datang ke sekolah tepat pada waktunya, tetapi masih juga membuat keputusan-keputusan yang tidak bertanggungjawab. Contoh seperti ini seringkali kita jumpai terutama pada anak-anak yang selalu mendapatkan instruksi atau petunjuk dari orangtua mengenai apa yang mesti mereka kerjakan, sehingga mereka kurang mendapat kesempatan untuk mengadakan penilaian sendiri, mengambil keputusan sendiri serta mengembangkan norma-norma yang ada dalam dirinya.

Rasa tanggung jawab sejati haruslah bersumber pada nilai-nilai asasi kemanusiaan. Nilai-nilai tidak dapat diajarkan secara langsung. Nilai-nilai dihirup oleh anak dan menjadi bagian dari dirinya hanya melalui proses identifikasi, dengan pengertian lain, anak menyamakan dirinya dengan orang yang ia cintai dan ia hormati serta berusaha meniru mereka. Contoh hidup yang diberikan orangtua, akan menciptakan suasana yang diperlukan untuk belajar bertanggung jawab. Pengalaman-pengalaman konkrit tertentu memperkokoh pelajaran itu, sehingga menjadi bagian dari watak dan kepribadian anak.
Jadi jelaslah, bahwa masalah rasa tanggung jawab pada anak, akhirnya kembali pada orangtuanya sendiri, atau dengan kata lain terulang pada nilai-nilai dalam diri orangtua, yaitu seperti tercermin dalam mengasuh dan mendidik anak.



Referensi:

http://yodi-adhari.blogspot.com/2010/04/pengertian-tanggung-jawab.html

http://hadi-detected.blogspot.com/2011/06/pengertian-tanggung-jawab.html

http://doctorgila.blogspot.com/2012/01/kaitan-antara-hasil-budaya-dengan.html

iadamayansis.blogspot.com/2012/01/hasil-budaya-berkaitan-dengan-tanggung.html

makna keterasingan


Makna Keterasingan


Dalam salah satu film Charlie Chaplin yang paling terkenal Modern Times, kita mendapati satu gambaran kehidupan di jalur produksi sebuah pabrik besar di tahun 1930-an. Pekerjaan monoton yang dilakukan tanpa berpikir lagi, yang diulangi tanpa henti sungguh telah mengubah manusia menjadi alat pembantu mesin, “alat yang dapat berbicara”. Sekalipun ada berbagai pembicaraan muluk mengenai “partisipasi”, kondisi di kebanyakan pabrik tetap saja sama. Sungguh, tekanan atas buruh telah meningkat dengan pasti di tahun-tahun terakhir. Hal-hal kecil yang dapat membuat hidup ini lebih tertanggungkan telah dengan perlahan tapi pasti disingkirkan. Di Inggris, di mana kekuatan serikat-serikat buruh telah memenangkan berbagai hal di masa lalu, kini jam-makan telah pula disingkirkan. Kanselir Kohl memberi tahu kaum buruh Jerman bahwa mereka harus segera bekerja pada akhir minggu.
Teknologi yang baru bukannya memperbaiki taraf kehidupan kaum buruh dalam industri, ia malah digunakan untuk memperburuk kondisi dari para buruh kerah putih. Di kebanyakan bank, rumah sakit dan kantor-kantor besar, posisi para pekerja kini semakin mirip dengan apa yang terjadi di pabrik-pabrik. Rasa tidak aman yang sama, tekanan yang tanpa henti atas sistem syaraf, stress yang sama, yang membawa masalah-masalah kesehatan, depresi dan perceraian.
Bahkan bagi mereka yang cukup beruntung untuk memiliki pekerjaan, sembilan dari sepuluh kasus, kerja adalah satu rutinitas yang tak bermakna. Berjam-jam kerja tidaklah dilihat sebagai bagian dari kehidupan seseorang. Kerja tidak memiliki hubungan dengan hakikat kita sebagai manusia. Hasil dari kerja kita dimiliki orang lain, baginya Anda hanyalah sebuah “faktor produksi”. Hidup dimulai saat Anda keluar dari tempat kerja, dan berhenti ketika Anda memasukinya. Gejala ini dijelaskan dengan baik oleh Marx dalam bukunya Economic and Philosophic Manuscript of 1844:
“Dengan demikian, terdiri dari apakah keterasingan kaum buruh?
“Pertama, fakta bahwa kerja itu adalah di luar diri pekerja itu, yaitu, tidak termasuk dalam sifat intrinsiknya; bahwa dalam pekerjaannya, ia tidaklah mengafirmasi dirinya sendiri melainkan menyangkalnya, tidak menjadi puas melainkan tidak bahagia, tidak mengembangkan dengan bebas enerji mental dan fisiknya melainkan merusak tubuhnya dan mengganggu otaknya. Si pekerja itu, dengan demikian, hanya menjadi dirinya sendiri di luar pekerjaannya, dan di dalam pekerjaannya merasa bahwa ia bukan dirinya sendiri. Ia merasa nyaman ketika tidak bekerja, dan ketika ia bekerja ia tidak merasa nyaman. Kerjanya, dengan demikian, tidaklah dengan sukarela, tapi karena dipaksa; itulah kerja paksa. Ia hanyalah satu alat untuk memenuhi kepentingan yang diluar dirinya sendiri. Sifatnya yang asing itu muncul jelas dalam fakta bahwa segera setelah tidak ada lagi pemaksaan fisik atau lainnya, kerja disingkirkan seperti wabah.
“Kerja terasing, kerja di mana manusia mengasingkan dirinya sendiri, adalah kerja yang penuh pengorbanan diri, penuh mortifikasi. Yang terakhir, sifat pekerjaan yang terasing bagi pekerja muncul dalam fakta bahwa kerja itu bukanlah miliknya sendiri, tapi milik orang lain, bahwa kerja itu bukan merupakan bagian dari dirinya, atau ia menjadi bagian dari kerja itu, bukan baginya tapi bagi orang lain. Sebagaimana agama merupakan aktivitas spontan dari imajinasi manusia, dari otak dan hati manusia, bagaimana ia bekerja pada seorang individu namun tidak tergantung padanya - yaitu sebagai sesuatu yang berada di luar dirinya, baik ilahi maupun satanik - demikian pula aktivitas seorang pekerja bukanlah aktivitas spontannya. Ia adalah milik orang lain; kerja bermana kehilangan jatidiri pekerja itu sendiri.”
Maka, bagi sebagian terbesar orang, hidup hanya dijalani sebagai sebuah aktivitas yang memiliki sedikit saja makna bagi individu; pada keadaan terbaik, hidup dapat ditoleransi; pada keadaan terburuk, hidup adalah siksaan. Bahkan mereka yang mengerjakan pekerjaan seperti mengajar anak-anak atau mengurus orang sakit, telah mulai merasa bahwa kepuasan mereka mulai dirampas, sejalan dengan semakin merasuknya hukum-hukum pasar ke dalam sekolah dan bangsal-bangsal rumah sakit.
Perasaan bahwa masyarakat telah mencapai titik impas tidaklah terbatas pada “kelas-kelas bawah”. Di tengah kelas penguasa juga terdapat perasaan yang semakin menebal akan adanya wabah dan pesismisme tentang masa depan. Omong-kosong besar yang dikumandangkan terus-menerus tentang apa yang disebut keajaiban “perekonomian pasar bebas” semakin hari menjadi semakin kosong maknanya, sejalan dengan orang semakin menyadari situasi sebenarnya - jutaan pengangguran, serangan terhadap standard hidup, kekayaan luar biasa yang dibuat melalui spekulasi, kerakusan dan korupsi.
Sangatlah ironis bahwa para pembela tatanan yang ada saat ini menuduh Marxisme sebagai “materialistis”, ketika kaum borjuis itu sendiri mempraktekkan jenis materialisme yang paling vulgar dan mengerikan, makna dalam kamusnya, bukan makna filsafatnya. Pengejaran kekayaan, diangkatnya kerakusan sebagai prinsip yang dominan, itulah pusat dari kebudayaan kita sekarang. Inilah agama mereka yang sebenarnya. Di masa lalu, mereka bersusah-payah untuk menutupi ini sejauh mungkin, bersembunyi di balik segala moral munafik tentang kewajiban, patriotisme, kerja yang jujur, dan segala kepalsuan yang lain. Kini mereka melakukannya secara terbuka. Di setiap negeri kita melihat wabah korupsi yang belum pernah terjadi sebelumnya, penggelapan, kebohongan, penipuan, pencurian - bukan pencurian oleh kriminal kelas teri, tapi penjarahan dalam skala masif, yang dikerjakan oleh para pebisnis, politisi, para kepala polisi dan militer dan para hakim. Dan mengapa tidak? Bukankah sudah kewajiban kita untuk menjadi kaya?
Buaian monetarisme mengangkat egotisme dan kerakusan menjadi sebuah prinsip. Ambil sebanyak yang Anda dapat, dengan cara apapun yang Anda sanggup, dan biarkan setan mengambil yang ketinggalan! Inilah hakikat inti dari kapitalisme. Itulah hukum rimba, yang diterjemahkan ke dalam bahasa mantra-mantra ekonomi. Setidaknya, ia dianugerahi dengan kebersahajaan. Ia mengatakan terus-terang seperti apa sistem ekonomi kapitalis itu sebenarnya.
Tapi, betapa kosongnya filsafat ini! Betapa menyedihkannya pandangan tentang kehidupan manusia ini! Sekalipun mereka tidak mengetahuinya, para penguasa planet ini sebenarnya hanya budak juga, budak bisu-tuli dari kekuatan yang tidak dapat mereka kendalikan. Mereka tidak memiliki kendali sejati atas sistem ini, sebagaimana semut tidak dapat mengendalikan bukit rumah mereka. Pointnya adalah mereka cukup puas dengan keadaan ini, yang memberi mereka posisi, kekuasaan dan kekayaan. Dan mereka dengan garang melawan semua usaha untuk menjalankan perubahan yang radikal di masyarakat.
Jika ada sebuah benang merah dalam sejarah, benang merah itu adalah upaya manusia, laki-laki dan perempuan, untuk meraih kendali atas hidup mereka, untuk menjadi bebas, dalam makna yang paling sejati dari kata itu. Segala kemajuan ilmu dan teknologi, semua yang telah dipelajari umat manusia tentang alam dan dirinya sendiri, berarti bahwa kini ada potensi untuk mengembil kendali penuh atas kondisi yang kita diami. Namun, dalam dasawarsa terakhir dari abad ke-20, dunia ini kelihatannya malah berada dalam cengkeraman satu kegilaan yang aneh. Manusia semakin merasa kehilangan kendali atas takdirnya, kurang dari apa yang dirasanya di masa lalu. Perekonomian, lingkungan hidup, udara yang kita hirup, air yang kita minum, makanan yang kita makan - semua berada di bawah ancaman. Hilang sudah makna rasa aman. Hilang sudah sejarah yang merupakan satu derap maju tanpa henti menuju sesuatu yang lebih baik dari hari ini.
Di bawah keadaan ini, berbagai seksi dalam masyarakat mencari jalan keluar melalui obat-obatan dan alkohol. Ketika masyarakat ini tidak lagi rasional, manusia, laki-laki dan perempuan, lari kepada hal-hal yang tidak rasional untuk mendapatkan penghiburan. Agama, seperti yang dikatakan Marx, adalah candu, dan jika dituruti sampai titik ekstrimnya dampaknya tidaklah lebih berbahaya daripada lain-lain obat-obatan. Kita telah melihat bagaimana ide-ide religius dan mistik telah merasuk, bahkan ke dalam dunia ilmiah. Inilah satu cerminan dari watak jaman yang kini sedang kita lewati.

Sumber    :
Disadur dari buku Reason in Revolt.
http://www.militanindonesia.org/teori/sosialisme/8245-marx-dan-keterasingan.html


Makna kesepihan

Makna Kesendirian Dan Kesepian

Kesendirian Dan Kesepian
Kesendirian adalah tidak adanya partner perkawinan. Kesepian adalah perasaan terasing dalam pikiran seseorang. Kita dapat sendiri tanpa merasakan kesepian. Kesepian merupakan masalah umum pagi setiap orang, laki-laki dan perempuan dapat melanda siapapun, tidak mengenal batas usia.
Dalam abad kini kita semua bisa menjadi korban dari modernitas dari kemajuan teknologi dan masyarakat yang semakin individu. Akibatnya sering tidak disadari dari awal dan baru terasa setelah berjalan jauh yang berakibat merugikan kehidupan bersama. Kesepian menjadi sumber bermacam-macam penyakit pisik dan psikologis, seperti, sakit kepala, nyeri punggung, darah tinggi, emosional, gampang tersinggung, bahkan depresi berat sampai bunuh diri.
Dalam pandangan pakar psikologi menyebutkan bahwa manusia di zaman modern lebih takut kesepian daripada bahaya kelaparan. Kita pada dasarnya makhluk sosial sehingga kita merasa takut kehilangan, takut akan ditinggalkan, memerlukan kebersamaan dan sapaan dari orang lain. Kita takut akan perasaan kehilangan dalam hubungan pribadi, terlebih orang yang kita cintai atau kita butuhkan keberadaannya. Tak seorangpun mampu yang terbebas dari belenggu kesepian. Disinilah orang kemudian melakukan aktifitas apapun agar tidak kesepian yang malah justru makin membuat dirinya merasa sepi.
Untuk menghilangkan kesendirian dan kesepian adalah dengan menjaga hati dan pikiran agar senantiasa tesambung dengan Allah Yang Maha Kasih. Jika hati kita tersambung dengan yang Maha Kasih, energi KasihNya akan menyebar keseluruh sel darah kita, kesadaran diri kita dipenuhi energi Kasih sayangNya, mulut, tangan, kaki menjadi instrumen untuk menyebarkan kasih sayang Allah Subhanahu Wa Ta’ala pada semua makhluk, baik Insan yang mulia, hewan, tumbuhan maupun benda-benda lain akan menjadi teman bahkan serasa saudara karena semua hadir atas kehendakNya. Semuanya bertasbih dan bersujud kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

‘Yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati kita menjadi tenteram.’ (QS. ar-Ra’d : 28)

SUMBER       : http://cupanktigor.wordpress.com/2010/07/14/makna-kesendirian-dan-kesepian/

Makna ketidakpastian


Makna Ketidakpastian
Ketidakpastian

Ketidakpastian adalah sebutan yang digunakan dengan berbagai cara di sejumlah bidang, termasuk filosofi, fisika, statistika, ekonomika, keuangan, asuransi, psikologi, sosiologi, teknik, dan ilmu pengetahuan informasi. Ketidakpastian berlaku pada perkiraan masa depan hingga pengukuran fisik yang sudah ada atau yang belum diketahui. 


Prinsip Ketidakpastian Heisenberg menyatakan bahwa adalah (hampir) tidak mungkin untuk mengukur dua besaran secara bersamaan, misalnya posisi dan momentum suatu partikel. Prinsip ini dicetuskan oleh ilmuwan Jerman bernama Werner Heisenberg di tahun 1927.

http://ladeva.files.wordpress.com/2011/02/memandang-ketidakpastian.jpg?w=400&h=225
Ketidakpastian berasal dari kata tidak pasti artinya tidak menentu, tidak dapat ditentukan, tidak tahu, tanpa arah yang jelas, tanpa asal-usul yang jelas. Ketidak pastian artinya keadaan yang pasti, tidak tentu, tidak dapat ditentukan, tidak tahu,keadaan tanpa arah yang jelas, keadaan tanpa asal-usul yang jelas itu semua adalah akibat pikirannya tidak konsentrasi. Ketidakkonsentrasian disebabkan oleh berbagai sebab, yang jelas pikirannya kacau. Beberapa sebab orang tak dapat berpikir dengan tidak pasti ialah :
1. obsesi 
2. phobia 
3. kompulasi 
4. hysteria 
5. delusi 
6. halusinasi
7.  keadaan emosi
Untuk dapat menyembuhkan keadaan itu bergantung pada mental si penderita. Andaikata penyebabnya sudah diketahui,kemungkinan juga tidak dapat sembuh. Bila hal itu terjadi, maka jalan yang paling baik bagi penderita diajak pergi sendiri kepsikolog.
 
http://ladeva.files.wordpress.com/2011/02/mereka-dan-hujan11.jpg?w=400&h=225
Contohnya, jika Anda tidak tahu apakah besok hujan, maka Anda mengalami ketidakpastian. Bila Anda menerapkan kemungkinan ini pada hasil memungkinkan yang menggunakan perkiraan cuaca atau penilaian kemungkinan terkalibrasi, Anda telah memperkirakan ketidakpastian.




Islam datang mencerahkan dunia, meningkatkan martabat wanita pada tempat yang mulia dan memberikan kedudukan yang tinggi yang sebelumnya jauh dan jatuh diletakkan di dasar lembah yang gelap gulita, sejak kecil keberadaannya di hinakan bahkan sebagian diantara mereka di kubur hidup-hidup, Allah SWT mengabadikan sejarah ini dengan firmanNya
Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya,
Karena dosa apakah dia dibunuh (QS. At Takwir : 9-10)
Beranjak dewasa hanya menjadi pemuas syahwat laki-laki durjana, sebagaimana yang diceritakan wanita mulia, ibunda kita ‘Aisyah Radhiallhu’anhaa dalam sunan Abi Daud tentang wanita yang menikah/melacurkan dirinya dengan memasang bendera khusus di depan pintu sebagai tanda.Perzinaan mewarnai setiap lapisan masyarakat dan sedikit dari kaum laki-laki dan wanita yang memang masih memiliki keagungan jiwa.Wanita diperjualbelikan secara semena-mena, kadang-kadang diperlakukan layaknya benda mati dan akhirnya ketika tua, tidak ada baginya doa apalagi bakti dari anak-anaknya.
Alhamdulillah Islam datang mengangkatnya, menjadikannya mulia sejak kecil, dewasa hingga masa tuanya.Tidak terdengar lagi ada bayi wanita yang dibunuh, kehormatannya terjaga dengan balutan baju yang menutupi aurotnya, diberikan hak untuk berpendapat dalam pernikahanya, bahkan diutamakan tiga kali melebihi kaum pria dalam keluarga.Dan sesudah tutup usia didoakan putra-putranya agar mendapat ampunan dari Rabnya. Itulah zaman keemasan Islam, yang setiap muslimah dan mukminah kala itu dapat merasakan perbedaannya, setelah merasa asing dan terasing dari kaumnya.
Zaman begitu cepat bergulir, keadaan pun tidak selalu sama.Keadaan kaum muslimin menjadi lemah -dan Allah lah yang Maha Mengetahui keadaan hambaNya- ini disebabkan jauhnya mereka dari asal kemulian, ketinggian dan kekuatan mereka. Dikoyaklah kesucian mereka oleh umat yang lain, dirampas kehormatan dan hartanya, lebih dari itu musuh Islam mampu membuat kebanyakan muslimah melepaskan mahkota malu dari dirinya, bahkan melepaskan dari agamanya secara keseluruhan, laa haula wa laa quwwata illa billah.
Pada hari ini lebih jelas gambaran keterasingan yang di landa kaum muslimah, ketika muslimah memandang masyarakat sekelilingnya ia dapati seolah-olah ia berada di suatu tempat yang sangat asing, bahkan masyarakat memandang ia datang dari planet lain.
Ditengah-tengah keluarganya pun ia merasa asing, dengan balutan jilbab yang syar’i bapak ibunya tidak berkenan, untuk thalabul ‘ilmi(pergi kajian) dilarangnya, bahkan bertemu dengan teman-temannya yang shalihah pun diawasi. Padahal semuanya dilakukan untuk mendapat ridha Ilahi.
Di rumah suaminya ia merasakan keterasingan diatas keterasingan, tertipu ketika berta’aruf, disangkanya pemuda yang benar-benar meniti jalan kebenaran pada awalnya, namun setelah mengarungi bahtera, terbalik hatinya kemudian meminta istrinya yang mencoba menjadi wanita surga untuk membalik hatinya juga dan melepas hijabnya bahkan menekan dan mengancamnya wa laa haula wa laa quwwata illa billah.
Inilah zaman ghurbah(keterasingan) yang kedua, sebagaimana telah diberitakan oleh kekasih Allah Muhammad shollallahu’alaihi wasallam :
بَدَأَالإِسْلاَمُغَرِيباًثُمَّيَعُودُغَرِيباًكَمَابَدَأَفَطُوبَىلِلْغُرَبَاءِ». قِيلَيَارَسُولَاللَّهِوَمَنِالْغُرَبَاءُقَالَ«الَّذِينَيُصْلِحُونَإِذَافَسَدَالنَّاسُ
“Islam datang dalam keadaan asing lalu akan kembali asing sebagaimana bermula, maka beruntunglah orang yang asing”. Ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang asing itu?” Beliau menjawab, “Orang-orang yang tetap shalihsaat manusia telah rusak.”(HR. Ahmad).
Dalam riwayat yang lain :
أُناَسٌصَالِحُوْنَفِيأُنَاسٍسُوْءٍكَثِيْرٍ،مَنْيَعْصِيْهِمْأَكْثَرُمِمَّنْيُطِيْعُهُمْ
“Orang-orang shalih yang berada di tengah-tengah orang-orang jahat yang banyak, yang mengingkari mereka jumlahnya lebih banyak daripada yang menta’ati mereka.”(HR. Ahmad)
Itulah sifat orang asing yang beruntung, mereka adalah generasi shalih dan menjadikan yang lain ikut shalih, tidak banyak yang mengikuti bahkan yang banyak adalah yang memusuhi, namunmereka selalu bergerak berdakwah kepada manusia mengajak kepada agama yang mulia ini.
Ketahuilah saudariku muslimah, bahwa dunia dan segala perhiasannya akan cepat sirna, kita kan ditanya dihapan Rabbuna segala perkara, baik yang kecil maupun yang besar, telah bersabda Nabi Kita :
لَاطَاعَةَلِمَخْلُوقٍفِيمَعْصِيَةِاللَّهِعَزَّوَجَلَّ
“Tidak ada ketaatan kepada mahkluq dalam bermaksiat kepada Allah ‘azza wajalla.”(HR. ahmad)
Ridha siapakah yang kita cari, manusiakah? sehingga kita rela meninggalkan ajaran agama hanya karena taat kepada mahluk yang berupa masyarakat, keluarga dan suami yang memaksa. Padahal telah diingatkan oleh Rasulullah SAW :
مَنْالْتَمَسَرِضَااللَّهِبِسَخَطِالنَّاسِكَفَاهُاللَّهُمُؤْنَةَالنَّاسِوَمَنْالْتَمَسَرِضَاالنَّاسِبِسَخَطِاللَّهِوَكَلَهُاللَّهُإِلَىالنَّاسِ
“Barangsiapa yang mencari keridhoan Allah sekalipun memperoleh kebencian manusia, Allah akan mencukupkan dia dari ketergantungan kepada manusia dan barangsiapa yang mencari keridhoan manusia dengan mendatangkan kemurkaan dari Allah, maka Allah akan menjadikannya bergantung kepada manusia”.(HR. At Tirmidzi ))
Jagalah keterasingan agamamu, genggamlah ia meski mungkin sepanas bara api rasanya. Janganlah engkau jual agama dan dirimu dengan dunia, ingatlah bahwa dunia adalah penjara bagi mukmin, dan surganya orang-orang kafir.
Allah Ta’ala berfirman :
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya”.(QS. Ath Thalaq:2-4)
Ingatlah balasan bagi orang-orang yang asing dari generasi awal yang melihat beliau maupun genersi belakangan yang beriman dan tidak melihat beliau :
طُوبَىلِمَنْرَآنِيوَآمَنَبِيثُمَّطُوبَىثُمَّطُوبَىثُمَّطُوبَىلِمَنْآمَنَبِيوَلَمْيَرَنِيقَالَلَهُرَجُلٌوَمَاطُوبَىقَالَشَجَرَةٌفِيالْجَنَّةِ
“Beruntunglah orang yang melihat dan beriman kepadaku, kemudian beruntunglah, beruntunglah dan beruntunglah orang yang beriman kepadaku dan dia belum pernah melihatku.” Laki-laki tersebut berkata; “Apakah keberuntungan orang tersebut?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Sebuah pohon di surga.” (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban).
Semoga Allah selalu meberikan kesabaran dalam menjalankan keta’atan dan kesabaran dalam menghadapi ujian dan tekanan, dan mamasukkan kita kedalam generasi asing yang dimaksud oleh Rasulullah SAW. Amin.
(Taufiq el Hakim, Lc.) ar-risalah