Translate

Sabtu, 19 November 2011

Kasus-Kasus Penderitaan 2


 kronologis Haryatin TKI Blitar disiksa majikannya sampai buta

Haryatin mendaftarkan dirinya untuk menjadi PRT Migran ke Arab Saudi melalui PT Kemuning Bunga Sejati pada bulan November 2006

Karena dirasa mampu berbahasa Arab, Haryatin hanya tinggal di penampungan sekitar 1 bulan lamanya. Dan pada tanggal 12 Desember 2006, Haryatin diberangkatkan ke Arab Saudi dan dijemput oleh staf Agent Al Jovan Manpower Office.

Haryatin kemudian dijemput oleh anak majikan bernama Fatimah atau Fatma. padahal dalam kontrak kerja, majikan Haryatin bernama Haya Mubarok Said Adusry.

Selama bekerja di rumah Fatma, Haryatin bekerja hampir 24 jam setiap harinya. Sampai bulan pertama bekerja, tiba-tiba Fatma marah-marah karena menganggap pekerjaan haryati tidak bagus. Haryati kemudian didorong dan dipukul sehingga Haryati ketakutan kemudian lari ke rumah orangtua Fatma, Haya.

Sesampainya di rumah Haya, orang yang bersangkutan tidak ada di rumah. Tidak berselang lama, Fatma kemudian menjemput Haryatin sambil melakukan penganiayaan seperti mencambuk kepala dan punggung dengan menggunakan selang air. Penganiyaan tersebut menyebabkan tangan Haryatin berdarah, kepala benjol dan punggung memar.

Penganiayaan itu terus berlanjut setiap harinya dengan sasaran pemukulan di kepala dan mata Haryatin.

Pada bulan ketiga, majikan Haryatin meminta Haryatin untuk menelepon keluarganya di Blitar. Haryatin kemudian melaporkan bahwa dirinya selalu disiksa oleh majikannya.

Setelah mendengar kabar tersebut, suami Haryatin yang bernama Samsul Huda meminta PT Kemuning Bunga Sejati untuk memulangkan Haryatin. Setelah itu, Samsul berusaha menghubungi Haryatin ke nomor rumah Fatma.

Mengetahui Haryatin menerima telepon dari suaminya, ia pun disiksa kembali dengan dibenturkan kepalanya, ditendang, dipukul dengan kabel, ditampar mukanya dengan hanger dari rotan dan ketika Haryatin terjatuh, ia pun diinjak-injak.

Pada bulan ketujuh, Haryatin berusaha melarikan diri melalui penampungan air di belakang rumah lantai 2. Namun ia terjatuh di kebun tetangga dan pingsan hingga tak bisa berjalan selama 3 hari. Selama itu tidak diberi makan disertai siksaan.

Samsul yang melapor perihal istrinya ke PT Kemuning Bunga Sejati mendapat jawaban yang tidak memuaskan. PT Kemuning Bunga Sejati mengatakan pihaknya tidak bisa memulangkan Haryatin sebelum kontraknya sudah habis atau ada surat tertulis dari Haryatin yang menyatakan telah disiksa.

Pada bulan kesepuluh, Haryatin diminta Fatma untuk mengambil blender. Namun setelah diambilkan, Fatma kemudian menyiksa Haryatin lagi dengan menampar wajah dan membenturkan kepala ke tembok sampai Haryatin buta.

Satu bulan berikutnya, pihak Agency pernah menghubungi Haryatin untuk menanyakan kabarnya. Namun karena Fatma menunggui percakapan tersebut, Haryatin tidak berani mengungkapkan kondisinya yang telah menjadi buta.

Setelah tahun pertama, Haryatin minta dipulangkan ke Indonesia akan tetapi Fatma hanya memindahkannya ke rumah orangtunya, Haya. Walau dipindah, Haryatin tetap menerima siksaan hingga bekerja selama 31 bulan di rumah Haya. Selama penyiksaan, Haryatin pernah dijungkirbalikkan dan alat reproduksinya dipukul dengan mengggunakan rotan.

Pada suatu hari, Haryatin disuruh untuk mengemasi pakaian dan diajak pergi untuk berobat. Namun bukan diajak berobat, Haryatin rupanya diajak untuk mencari TKI lain yang akan pulang ke Indonesia.

Selama 11 hari Haryatin dicarikan teman yang akan memandu perjalanan. Dan akhirnya bertemu dengan pasangan asal Bojonegoro, Jawa Timur. Haryatin kemudian diajak pulang ke Indonesia oleh orang tersebut.

Haryatin diterbangkan dari Riyadh menuju Hongkong kemudian tiba di Surabaya tanggal 4 Agustus 2010.

Tanggal 11 Agustus 2010, Haryatin berobat ke Rumah Sakit Umum Daerah Mardi Waluyo Wlingi Blitar. Dari hasil pemeriksaan tersebut, Haryatin dirujuk ke Rumah Sakit Mata Undaan Surabaya.

Pada tanggal 28 November 2010, pihak PT Kemuning Bunga Sejati memfasilitasi Haryatin untuk berobat ke RS Aini Jakarta. detik.com


Sumber                                :  http://besteasyseo.blogspot.com/2010/12/haryatin-tki-buta-disiksa-arab-saudi.html


Kasus-Kasus Keadilan

KASUS MUNIR & KISAH GELAP DI MISSISSIPPI
 “Aku pernah begitu benci kepadanya, dan bahkan pernah menyuruh orang untuk membunuhnya. Tetapi, aku teringat ucapan suamiku, Medgar: ‘jika kau membenci seseorang maka yang menderita adalah dirimu sendiri, sebab orang yang kau benci kebanyakan tidak tahu dan sebagian besar lainnya tidak peduli’.” (Mirly Evers tentang Byron De La Beckwith dalam film Ghost of Mississippi).
Film itu mengangkat kisah nyata tentang penantian dan perjuangan panjang menggapai keadilan. Peristiwanya terjadi di Negara Bagian Mississippi, Amerika Serikat. Mirly Evers adalah protagonis dibalik perjuangan itu, janda yang tak kenal lelah mencari keadilan atas kematian suaminya, Medgar Evers, seorang tokoh pejuang persamaan hak kaum kulit hitam. Pada 1963, Medgar ditembak secara keji dan pengecut di halaman rumah tempat ia tinggal bersama isteri dan ketiga anaknya.
Bukti perkara mengarah Byron De La Beckwith, anggota Ksatria Putih Klu Klux Klan (KKK) sebagai tersangka pelaku pembunuhan. Namun, suasana sosial politik yang masih kental dengan praktik rasialisme, dua kali proses sidang yang penuh rekayasa (termasuk hilangnya bukti berupa senjata alat pembunuhan), anggota Juri yang semuanya berkulit putih tak pernah bulat memutuskan dakwaan bagi De La Beckwith. Ironis bagi keadilan dan berkah bagi De La Beckwith, Hakim Pengadilan ‘terpaksa” membebaskan tersangka dari segala tuduhan dengan dalih “kesalahan pengadilan”.
Keadilan bagi Myrli dan keluarganya baru datang tiga puluh tahun kemudian, tepatnya pada 1994. Robert Delaughter, Asisten Jaksa Penuntut di Kota Hinds, Mississippi, yang juga menantu hakim ketua pada sidang yang membebaskan tersangka adalah sosok penting yang kemudian berhasil menyeret kembali De La Beckwith ke sidang pengadilan. Saat upaya itu sedang dilakukan berbagai ancaman dan teror dari para simpatisan De La Beckwith diterimanya setiap waktu. Sang tersangka yang saat itu berumur 70 tahun dan telah tinggal di Tennessee dengan pongah tetap percaya bahwa proses sidang akan terrulang dan membebaskan dirinya. Namun tampilnya sejumlah saksi baru serta susunan Juri yang kali ini terdiri dari kulit hitam dan kulit putih, membuat De La Beckwith akhirnya divonis bersalah dan dijatuhi hukuman seumur hidup. “Inilah kilometer terakhir dalam perjuangan saya bagi Medgar”, demikian ucap Myrli menanggapi putusan pengadilan itu.
***
Pepatah bilang “sejarah selalu berulang”. Begitulah, jika kita menyandingkan kisah di Mississippi sana dengan tragedi pembunuhan aktivis HAM Indonesia, Munir. Seperti Medgar, Munir juga dibunuh secara keji dan pengecut yang kelewat batas. September 2004 lalu, ketika berada dalam pesawat Garuda menuju Belanda, tubuh kecil Munir tak kuasa menahan derita akibat racun Arsenik yang tiba-tiba mengendap di tubuhnya. Ya, Munir meninggal diracun. Seketika, kita kehilangan sosok panutan dalam perjuangan menegakkan demokrasi dan HAM.
Adalah Suciwati, sosok yang selama almarhum masih hidup lebih memilih peran sebagai seorang ibu yang baik dan suppoter sejati perjuangan suaminya, pelan tapi pasti tampil berani di garda terdepan untuk menyeret para pelaku pembunuhan suaminya. Hikmah dari kebaikan yang ditebar almarhum selama hidup, membuat Suciwati tidak sendirian dalam perjuangan itu. Simpati dan dukungan datang dari berbagai kalangan. Tidak saja dari kolega almarhum yang tergabung di KONTRAS, PBHI, Imparsial, SETARA, KASUM serta TPF Kasus Munir, dukungan juga datang dari masyarakat Indonesia serta sejumlah pemerintahan dan lembaga internasional.
Tapi, apa yang terjadi? Setelah empat tahun menanti, keadilan yang dicari justru menemui ”ajal”-nya di tangan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, 31 Desember 2008 lalu. Hakim memvonis bebas Muchdi Pr. Mantan petinggi Badan Intelejen Negara yang didakwa sebagai otak pembunuhan Munir. Sungguh, putusan itu jadi kado tahun baru teramat manis bagi dirinya, tapi sebaliknya merupakan kado pahit bagi keadilan di Indonesia. Menengok kembali ke kasus di Mississippi, De La Beckwith bebas karena adanya ”kesalahan pengadilan”. Pada kasus kasus Munir, kita pun sulit menghindar untuk sampai pada penilaian serupa bahwa telah terjadi ”kesalahan” dalam proses persidangan maupun putusannya.
Kesalahan, atau katakanlah sejumlah kejanggalan, berlangsung selama proses persidangan. Sejumlah saksi yang potensial memberatkan dakwaan secara serentak mencabut kesaksiannya yang ada di Berita Acara Pemeriksaan. Seorang saksi kunci dari sebuah lembaga telik sandi malah sama tak pernah bisa di-hadir-kan dengan alasan tugas resmi di luar negeri. Padahal ia adalah salah satu kunci yang menghubungkan tersangka dengan terdakwa pelaku lainnya. Para hakim yang terhormat itu juga tidak pernah merasa dan berpikir berpikir perlu untuk memperdalam atau bahkan memperdengarkan rekaman pembicaraan telepon yang puluhan kali antara terdakwa dengan seorang terdakwa lain, Pollycarpus, seperti pada sidang kasus-kasus korupsi di pengadilan Tipikor. Lebih penting lagi, hakim malah segera mengambil keputusan yang potensial mendorong kasus ini ke jalan buntu. Intinya logical framework pada sidang pengadilan itu nyaris tak terpenuhi.
Di sini kita tak hendak membenci hakim pengadilan, terdakwa, atau siapapun yang terlibat dalam skenario pembunuhan itu. Sebab mereka, seperti kata Myrli Evers di atas, ”mungkin tak akan pernah akan tahu atau peduli”. Kita hanya kecewa. Putusan itu melah membuat luka kian menganga. Silakan saja hakim berdalih bahwa putusan diambil berdasar fakta dan keterangan yang terpapar pada sidang. Tapi bagaimana penjelasan atas sejumlah kejanggalan yang terjadi? Proses hukum yang janggal niscaya melahirkan putusan janggal, dan bahkan salah kaprah. Apapun, kita hanya percaya satu hal mendasar bahwa common sense publik atas keadilan tidak akan pernah mati meski ada putusan seperti itu.
Proses hukum memang acap berbanding terbalik dengan rasa keadilan publik. Kita hanya berharap bahwa keadilan dalam kasus ini tak harus menunggu puluhan tahun seperti di Mississipi. Bukan karena kita meragukan kesabaran Suciwati dan keluarganya untuk menunggu lama seperti Myrli. Melainkan keyakinan bahwa pengungkapan kebenaran dibalik kasus ini memang TIDAK HARUS menunggu selama itu. Hanya perlu kemauan (will) yang sungguh-sungguh dan proses hukum yang benar untuk menuntaskannya. Keadilan yang kelak datang, tentu akan sangat bermakna bagi keluarga besar Munir, juga bagi kita semua. Semoga! Teriring doa semoga Munir damai ”di sana”.***


Kasus-Kasus Penderitaan


Derita TKI di Luar Negeri



Deret Panjang TKI yang Disiksa di Luar Negeri
CERITA sedih TKW kita di negeri orang seakan-akan tidak ada habis-habisnya, setiap bulan hampir selalu ada pemberitaan tentang nasib “pahlawan-pahlawan” devisa.
Dalam satu minggu ini saja, kabar buruk datang dari Arab Saudi. Masih jelas baru beberapa hari lalu,  Sumiyati binti Mustafa warga Dompu yang bekerja di Arab Saudi mengalami penyiksaan di luar batas peri kemanusiaan. Belum selesai kasus Sumiyati diusut, malah tersiar khabar lebih tragis dengan ditemukannya jenazah Kikim Komalasari TKW asal Cianjur Jaba Barat di tempat sampah. Kikim diguga tewas kerana disiksa majikannya.
Seakan kejadian ini terus berulang dan berulang, pahlawan devisa yang meregang nyawa ataupun mengalami siksaan begitu hebat pemerintah hanya mengirim nota protes. Harus banyak yang dibenahi dalam sistem database dan cara pengiriman TKI-TKW sehingga kejadian-kejadian sama seperti yang menimpa Sumiyati dan Kikim tidak akan terjadi lagi.
Berikut deret data penyiksaan dengan luka berat atauun meninggal yang dialami para TKI-TKW di negeri orang:
No
Nama
Asal
Negara Tujuan
Kondisi
Tahun
1
Sumiyati binti Mustafa
Dompu, NTB
Arab Saudi
Kulit mengelupas, luka bakar dan bibir digunting
November 2010
2
Biyanti Marsono

Singapura
Dipukul sampai hidung mengeluarkan darah
2010
3
Nirmala Bonat
NTT
Malaysia
Cacat fisik
2004
4
Heni Indriyani
Lampung
Malaysia
Luka di wajah dan bagian vitalnya
September 2010
5
Muntik Hani
Jombang
Malaysia
Meninggal
April 2010
6
Slamet Riyadi
Ampelrejo, Jember
Malaysia
Meninggal
2010
7
Karni
Mojmulyo, Jember
Singapura
Meninggal
2010
8
Riadiyanto
Puger Kulon, Jember
Arab Saudi
Meninggal
Februari  2010
9
Nafsiyah
Mlokorejo, Jeber
Malaysia
Meninggal
2010
10
Halimah
Cianjur, Jabar
Arab Saudi
Meninggal di Lorong Jembatan di Arab Saudi
Agustus 2010
11
Kikim Komalasari
Jabar
Kota Abha, Arab Saudi
Dibunuh dan mayatnya dibuang di tong sampah
November 2010


Sumber: http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/bicara_fakta/2010/11/18/12/Deret-Panjang-TKI-yang-Disiksa-di-Luar-Negeri
.
Sangat disayangkan, di negeri para syaikh (Arab Saudi), justru para TKI lebih banyak mendapat penyiksaan. Sampai-sampai HTI (yang notabene pro khilafah yang hari raya-nya selalu mengacu ke sana … koreksi jika salah), mengecam negara Arab Saudi ini dengan kata-kata,
“Kondisi ini menunjukkan bahwa sikap Arab Saudi bukanlah cerminan syariat Islam dan Arab tak pantas disebut negara Islam,” teriak Iffah Ainur Rochmah selaku juru bicara Muslimah HTI di depan Kedubes Arab, Jakarta Timur, Rabu (24/11/2010).
Sumber: http://www.tribunnews.com/2010/11/24/arab-saudi-tak-pantas-disebut-negara-islam
.
Berikut sebuah wacana mengenai sudut pandang warga Saudi terhadap para TKI,
24 Nopember 2010
”Mengislamkan” Lagi Saudi
SEORANG tokoh Indonesia yang sekarang menjadi pimpinan ormas Islam pernah menyatakan bahwa hukum Islam (syariah) jika menyangkut orang Arab Saudi (Saudi) memang akan benar-benar tegak. Tetapi jika menyangkut orang non-Saudi, terutama negara-negara yang warganya banyak menjadi tenaga kerja di sana, hampir dipastikan tidak akan adil.
Dengan kata lain, orang-orang Indonesia yang mengadu nasib di sana janganlah berharap keadilan dari sistem hukum negeri Keluarga Saud itu, meskipun klausul perjanjian antara tenaga kerja Indonesia (TKI) dan majikan Saudi sudah menyebutkan hak dan kewajiban masing-masing.
Pemerintah kita boleh saja mengklaim bahwa TKI sudah mendapatkan perlindungan. Namun, menurut seorang yang sudah bekerja di Saudi, di negara tersebut kewajibanlah yang lebih mengemuka, sedangkan hak baru sebatas gaji meskipun tidak sedikit dari TKI yang dibayar tidak tepat waktu.
Karena itu, pemerintah kita sejatinya tidak boleh berpuas diri, karena faktanya banyak perjanjian tidak diindahkan. Sudah terjadi pelanggaran perjanjian pun TKI tidak bisa menggugat karena tidak ada saluran yang bisa menjadi lembaga penyelesaian sengketa, terlebih lagi mereka umumnya tersandera karena tidak bisa keluar dari rumah majikan untuk mengadukan masalah tersebut.
Larangan memegang ponsel itulah menjadi penyebab kenapa keluarga di Indonesia sulit menghubungi kerabatnya yang menjadi TKI. Bila sekarang SBY menekankan agar TKI dibekali telepon seluler, hal itu masih sebuah harapan mengingat boleh tidaknya bukan terletak di tangan Indonesia melainkan di tangan pemerintah Kerajaan Saudi, utamanya majikan yang mempekerjakan TKI.
Indonesia harus berkaca pada Filipina yang ketika salah seorang warganya diperlakukan tidak adil berani menggertak dan ternyata Saudi keder juga. Sementara kita, selalu sabar. Apakah itu sebuah kesungkanan karena ikatan keislaman?
Menurut saya, tinggalkan masalah itu, karena jika menyangkut warga negara Saudi masalah Islam juga tidak diperhitungkan. Kenapa kita harus terpancang pada hal itu mengingat praktik yang dijalankan warga Saudi terhadap TKI sungguh-sungguh di luar ajaran Islam.
Era Kegelapan
Saudi sebagai asal usul lahirnya Islam makin membuat ragu sejumlah pihak selain dianggap menebar teror juga ternyata tidak memberikan contoh dalam memperlakukan manusia, terutama ekonominya lebih lemah. Mungkin ada yang bertanya kenapa masyarakat yang hidup di negeri yang selalu mengklaim paling Islam dengan fatwa ulamanya yang keras, justru Islam tidak berarti menenangkan (salam) dengan memberikan ckup perlindungan? Bukankah Nabi Muhammad SAW ketika menaklukkan Makkah melindungi mereka yang belum Islam?
Lantaran sibuk mengislamkan orang lain, bangsa Saudi  lupa bahwa tidak sedikit dari mereka yang masih barbar, yang mengartikan Islam pada era raqabah (perbudakan). Bahkan menurut seorang kawan, di antara ulama mereka ada yang berpandangan seperti itu.
Bagi orang Saudi, perbedaan antara budak dan tenaga kerja sangat tipis, jika tidak ingin dianggap tidak ada sama sekali. Atas dasar itu, perlakuan terhadap tenaga kerja bisa sekehendak hati yang membayar, karena bagi mereka, terutama majikan, uang administrasi yang mereka keluarkan untuk mendapatkan tenaga kerja bukan uang jasa melainkan untuk proses jual beli. Jadi menurut bangsa Saudi,  memperlakukan tenaga kerja sesuai sekendak hati justru hal itu sesuai dengan praktik Islam, meskipun hal itu hanya ada pada awal Islam.
Ajaran Nabi melarang setiap majikan berlaku sewenang-wenang. Namun, sepertinya Hadis ini mungkin dianggap lemah (dhaif) sehingga yang mengemuka di Arab Saudi adalah praktik Islam pada era kegelapan sehingga tidak mengherankan jika sejumlah majikan merasa berhak sewenang-wenang, termasuk memerkosa TKW, karena seorang wanita budak hukumnya halal.
Kita tidak boleh silau pada keislaman Saudi lantaran Kakbah terletak di sana. Kasus-kasus yang menimpa TKI adalah contoh bahwa paham keislaman yang berlaku di sana adalah Islam pada era awal atau zaman kegelapan. (10)
— Mahmudi Asyari, doktor dari UIN Jakarta
Sumber            :



Sumber Penderitaan


Sumber Penderitaan

Hidup adalah penderitaan, menjadi tua adalah penderitaan, sakit adalah penderitaan, perpisahan dari yang dicintai ialah penderitaan, tidak mendapatkan yang diinginkan ialah penderitaan. Bukankah penderitaan itu disebabkan karena adanya unsur kemelekatan.
Penderitaan bukanlah diri Anda, itu hanyalah sensasi yang diterima oleh Anda. Saat Anda bisa memisahkan antara diri Anda dengan penderitaan itu, saat itulah Anda sudah melepaskan kemelekatan keakuan (ego). Saat itulah berakhirnya penderitaan. Jadi sumber penderitaan itu berasal dari diri Anda sendiri yang menggap bahwa “ Anda menderita”..Saat Anda terus melekatkan diri anda dengan penderitaan itu, semakin Anda akan merasa bahwa Anda adalah orang yang paling menderita.
Perasaan bukanlah penderitaan. Penderitaan ialah menggenggam nafsu-keinginan. Nafsu keinginan tidak menyebabkan penderitaan; penyebab penderitaan adalah menggenggam nafsu-keinginan. Pernyataan ini untuk refleksi dan renungan dalam pengalaman pribadi anda. Anda tak mungkin memiliki penderitaan yang absolut dan kemudian ada jalan-keluarnya bukan?
Coba sekarang pandang dan rasakan rasa sakit dan kesedihan yang Anda rasakan, bukan dari sudut pandang ‘milik saya’ melainkan sebagai suatu refleksi: ’Ini ada penderitaan.’ Pengetahuan ini hanyalah sesederhana pengakuan adanya penderitaan tanpa menjadikannya sebagai sesuatu yang pribadi (personal). Pengakuan ini adalah pengetahuan yang penting, yakni: hanya memandang kesedihan mental atau penderitaan fisik dan melihatnya sebagai penderitaan daripada kesengsaraan pribadi – sekedar melihatnya sebagai penderitaan begitu saja, bukan malah bereaksi terhadapnya.
Kebenaran ini diungkapkan dengan sangat jelas: “Ada penderitaan”, bukannya, ‘Saya menderita.’ Secara psikologis, refleksi ini merupakan cara yang lebih baik untuk mengungkapkannya. Kita cenderung untuk mengartikan penderitaan kita sebagai ‘Saya benar-benar menderita. Saya sangat menderita — dan saya tidak ingin menderita.’ — Ya beginilah cara berpikir kita terkondisi.
‘Saya menderita’ selalu membawa makna bahwa ‘Saya adalah orang yang sangat menderita. Penderitaan ini adalah milik saya; saya memiliki banyak penderitaan dalam hidup saya.’ Kemudian seluruh proses kait-mengkait antara diri sendiri dengan ingatan berlangsung.
Perhatikanlah bahwa sekarang kita tidak lagi mengatakan ada orang yang menderita. Maka penderitaan bukan lagi suatu penderitaan personal (pribadi) ketika kita memandangnya sebagai ‘Ini ada penderitaan.’ Untuk lepas dari penderitaan kita harus mengakuinya dalam kesadaran.
Anda tidak akan pernah bisa dapat mengetahui perbedaan antara “ saya menderita”, dengan “ ini ada penderitaan”, tanpa Anda mempraktekkannya dan merasakannya langsung!”
‘Ini ada penderitaan’ merupakan pengetahuan-kebijaksanaan yang pertama. Pengetahuan apakah itu? Kita tidak perlu membuatnya menjadi sesuatu yang luar biasa, ini adalah sekedar mengenali: ‘Ada penderitaan.’ Inilah pengetahuan kebijaksanaan yang mendasar.
Tahap berikutnya adalah “ Penderitaan itu harus dimengerti.” Anda harus memahami penderitaan [terlebih dahulu], tidak hanya berusaha untuk menghilangkannya. Terhadap penderitaan baik fisik maupun mental biasanya kita hanya bereaksi, namun dengan pemahaman kita bisa benar-benar memandang penderitaan; sungguh-sungguh menerimanya, sungguh-sungguh memegangnya serta merangkulnya.
Ketika Anda benar-benar melihat sumber penderitaan, Anda akan merealisasi bahwa permasalahannya adalah penggenggaman (grasping) nafsu-keinginan bukan nafsu-keinginan itu sendiri. Menggenggam artinya dibohongi oleh nafsu-keinginan, berpikir bahwa inilah ‘aku’ dan ‘milikku’: ‘Nafsu-keinginan ini adalah saya dan ada sesuatu yang salah dalam diri saya karena memilikinya’;
atau, ‘Saya tidak suka diri saya yang sekarang. Saya harus menjadi sesuatu yang lain’; atau, ‘Saya harus menyingkirkan sesuatu dulu sebelum saya bisa menjadi apa yang saya inginkan.’ Semua ini adalah nafsu-keinginan. Jadi pandanglah semua hal apa adanya.
Ketika kita mengkontemplasikan dan dengan cermat mendengarkan nafsu-keinginan, maka kita tidak lagi melekat padanya; kita hanya membiarkan mereka sebagaimana adanya. Kemudian kita sampai pada realisasi bahwa sumber penderitaan, nafsu-keinginan, dapat dikesampingkan dan dibiarkan berlalu,
Bagaimana anda membiarkannya berlalu? Caranya dengan membiarkannya sebagaimana adanya; ini bukan berarti Anda memusnahkan atau membuangnya, melainkan lebih pada meletakkan dan membiarkannya sendiri. Melalui latihan melepas, kita menyadari keberadaan sumber penderitaan, yaitu kemelekatan pada nafsukeinginan, dan kita sadar bahwa kita harus melepas nafsu-keinginan ini. Kemudian kita menyadari bahwa kita telah melepas nafsu-keinginan ini, dan tiada lagi kemelekatan padanya.
Ketika anda menyadari diri anda sedang melekat pada sesuatu, ingatlah bahwa ‘melepas’ tidak sama dengan ‘menyingkirkan’ atau ‘membuang’. Bila saya sedang memegang sebuah jam dan Anda berkata, ‘Lepaskan jam itu!’, perkataan anda bukan berarti ‘buang’. Boleh jadi saya berpikir bahwa saya harus membuangnya karena saya melekat padanya, tetapi ini pun hanyalah nafsu-keinginan untuk menyingkirkan. Kita cenderung berpikir bahwa menyingkirkan objek merupakan cara untuk menyingkirkan kemelekatan. Tetapi bila saya dapat merenungkan kemelekatan, penggenggaman jam ini, saya menyadari bahwa tiada artinya berusaha menyingkirkannya — jam ini bagus; tepat waktu dan tidak berat untuk dibawa-bawa. Jam ini bukanlah masalahnya
Jadi apa yang saya lakukan? Lepaskan, kesampingkan, letakkan dengan lembut tanpa ada kebencian. Kemudian saya boleh mengambilnya lagi, melihat pukul berapa saat itu serta kembali meletakkannya bila perlu.
Bagaimana cara mengesampingkan nafsu-keinginan ini tanpa menimbulkan kebencian? Sangat sederhana: sekedar kenalilah saja tanpa menilai atau mengadilinya. Anda dapat mengkontemplasikan keinginan untuk menyingkirkannya karena Anda merasa bersalah memiliki nafsu yang bodoh ini tetapi kesampingkan saja. Anda tidak lagi melekat padanya ketika anda melihatnya sebagaimana adanya, mengenalinya hanya sebagai nafsu-keinginan.
Jadi caranya adalah dengan selalu berlatih setiap waktu dalam kehidupan sehari-hari.
Bilamana anda sedang merasa tertekan dan negatif, begitu di saat anda menolak larut tenggelam dalamnya, inilah pengalaman yang mencerahkan. Ketika anda melihat-nya, anda tak perlu tenggelam dalam lautan depresi dan keputusasaan. Anda sebenarnya bahkan dapat stop dengan belajar untuk tidak menimbang-ulang tentangnya sedikitpun.
Anda harus memahaminya sendiri melalui latihan sehingga anda dapat mengetahui sendiri bagaimana cara melepas sumber penderitaan. Dapatkah anda melepas nafsu-keinginan dengan ingin melepaskannya? Apakah yang sebenarnya melepas pada saat itu? Anda harus merenungkan pengalaman melepas dan benar benar meneliti dan menyelidiki sampai pengetahuan kebijaksanaan timbul. Teruskan sampai insight itu timbul: ‘Ah, melepas, ya, sekarang saya mengerti. Nafsu-keinginan telah dilepas.’ Bukan berarti bahwa dengan ini anda bisa melepas nafsu-keinginan selamanya, tetapi pada saat itu, anda benar-benar telah melepas dan anda telah melakukannya dengan kesadaran perhatian penuh.
Bila Anda berusaha untuk menganalisa pelepasan secara mendetail, anda dapat terjebak dengan membuatnya menjadi sangat rumit. Pelepasan bukanlah sesuatu yang dapat Anda pikirkan dalam kata-kata, melainkan sesuatu yang Anda lakukan. Demikian pula caranya untuk melepas dengan masalah dan obsesi pribadi.
Caranya bukanlah dengan menganalisa dan menambah permasalahan dari yang sudah ada, tetapi melatih keadaan meninggalkannya sendirian, melepasnya. Pada mulanya, Anda melepas tetapi kemudian mengambilnya kembali karena kebiasaan memegang yang kuat. Tetapi paling tidak anda menangkap maksudnya.
Adalah penting untuk mengetahui bahwa anda telah melepas nafsu-keinginan: ketika anda tak lagi menilai atau berkeras buat menyingkirkannya; kala anda mengenali bahwa ya demikianlah adanya . Ketika anda benar-benar tenang dan damai, maka anda akan menemukan bahwa tiada kemelekatan pada apapun.
Anda tidak terperangkap, berusaha untuk memperoleh atau menyingkirkan sesuatu. Kewarasan itu hanyalah sekedar mengetahui sesuatu sebagaimana adanya tanpa merasa perlu untuk mengadili atau membuat penilaian ini-itu tentangnya. Kita selalu mengatakan, ‘Ini mestinya tidak begini!’, ‘Saya tidak seharusnya berlaku begini!’ dan, ‘Anda seharusnya tidak begini atau begitu!’, dan seterusnya.
Kita merefleksi tatkala kita melihat penderitaan, sifat nafsu-keinginan dan ketika kita mengenali bahwa kemelekatan pada nafsu-keinginan adalah penderitaan. Maka kita memiliki pengetahuan-kebijaksanaan (insight) untuk membiarkan sang nafsu berlalu serta merealisasi ketidak-menderitaan, dan saat itu berakhirnya penderitaan.
Pengetahuan ini hanya dapat timbul melalui refleksi, bukan melalui sekedar percaya. Anda tidak dapat membuat diri anda yakin atau merealisasi kebijaksanaan dengan sengaja. Dengan benar-benar merenung dan memikirkan
kebenaran inilah maka pengetahuan timbul dalam diri Anda. Kebijaksanaan ini timbul hanya melalui pikiran yang terbuka dan siap menerima ilmu ini.
Pikiran harus siap menerima, meneliti dan mempertimbangkan. Keadaan mental ini sangat penting. Inilah jalan keluar dari penderitaan. Ini bukanlah pikiran yang berpandangan kaku dan penuh prasangka serta merasa mengetahui segalanya Ini adalah pikiran yang terbuka yang dapat berefleksi terhadap sesuatu yang bisa kita lihat dalam pikiran kita.
Orang jarang merealisasi ketidak-menderitaan karena dibutuhkan tekad istimewa buat merenung, menyelidiki dan melampaui yang kasar dan yang seakan sudah jelas. Dibutuhkan kemauan untuk
Benar-benar melihat reaksi-reaksi anda sendiri, untuk mampu melihat kemelekatan serta merenung: ‘Seperti apakah rasanya kemelekatan?’
“Sebelum Anda dapat melepas sesuatu, anda harus mengakuinya dengan Kesadaran penuh”.
Sangat penting untuk membedakan antara “berakhirnya” dengan “pemusnahan”, yakni nafsu untuk menyingkirkan sesuatu.Berakhirnya adalah akhir alami dari segala kondisi apapun yang muncul. Jadi ini bukan nafsu-keinginan! Berakhirnya bukanlah sesuatu yang kita ciptakan dalam pikiran melainkan akhir dari sebuah awal,
Oleh karena itu berakhirnya bukan diri. Ini tidak datang dari perasaan ‘Saya harus menyingkirkan sesuatu,’ tetapi adalah tatkala kita membiarkan apa yang muncul untuk lenyap. Untuk melakukannya maka kemelekatan harus ditinggalkan – dibiarkan berlalu. Meninggalkan bukan berarti menolak atau membuangnya melainkan sekedar melepas membiarkannya berlalu. Kemudian ketika kemelekatan atau kecanduan lenyap, anda mengalami kekosongan, ketidak-melekatan. Ketika Anda telah melepas sesuatu dan membiarkannya lenyap, maka yang tersisa adalah kedamaian.
Dalam kekosongan (emptiness), semua adalah sekedar sebagaimana adanya. Ketika kita sadar dengan cara ini, bukan berarti kita menjadi acuh tak acuh pada kesuksesan atau kegagalan dan tak melakukan apapun. Kita dapat menerapkankan diri kita sendiri. Kita tahu apa yang dapat kita lakukan; kita tahu apa yang harus dilakukan dan kita bisa melakukannya dengan cara yang baik. Kemudian semuanya menjadi apa adanya. Kita melakukan sesuatu karena itu adalah sesuatu yang tepat untuk dilakukan pada saat ini dan di sini bukan karena ambisi pribadi atau takut akan kegagalan tetapi karena suatu kesadaran.